Secara global, perkawinan dipandang sebagai ikatan yang diharapkan menjadi jembatan tercapainya kebahagiaan. Realitasnya, tak sedikit perkawinan yang berujung perceraian. Dampak dari perceraian ini tidak hanya dirasakan oleh para pasangan, tapi juga pada si anak. Tapi harus di ingat, bahwa orang tua memang dapat bercerai tetapi anak tidak dapat bercerai dari kedua orangtuanya.
Pasal 41 UU Perkawinan mengatur putusnya perkawinan karena perceraian berakibat: kedua orang tua tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; jika terjadi perselisihan tentang penguasaan anak-anak, Pengadilan berwenang untuk memutus.
Biasanya hak asuh anak dapat dimasukkan dalam petitum atau permohonan para pihak yang mengajukan perceraian. Tetapi tidak jarang juga oleh majelis hakim menolak untuk memutuskan hak asuh anak tersebut, bahkan meminta untuk para pihak mengajukan gugatan hak asuh anak setelah perceraian diputus oleh majelis hakim.
Dalam hal biaya pemeliharaan dan pendidikan bagi anak menjadi tanggung jawab bapak. Jika diketahui bapak tidak mampu maka ibu ikut memikul biaya-biaya tersebut. Merujuk lebih jauh pada bab Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak UU Perkawinan, orang tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya. Kewajiban pemeliharaan anak tersebut wajib dipenuhi sampai anak mencapai usia dewasa meskipun terjadi perceraian.
Dilansir dari hukumonline, maka ada sebuah penelitian yang dibuat oleh seorang mahasiswa Fakultas Hukum UGM Jogjakarta. Ia melakukan studi terhadap 96 putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta pada rentang waktu tahun 2012-2015, dan hasilnya menunjukkan bahwa 75% gugatan memuat petitum/permohonan mengenai hak pemeliharaan anak. Sebanyak 62 putusan memberikan hak pemeliharaan anak kepada ibu. Selanjutnya, 14 putusan memutus hak pemeliharaan anak oleh ayah dan ibu, dan sisanya 5 putusan menjatuhkan hak pemeliharaan kepada ayah.
UU Perkawinan tidak secara eksplisit menjelaskan perihal apa yang menjadi pertimbangan terhadap siapa pihak yang lebih berhak mendapatkan hak asuh anak pasca perceraian. Tetapi ada beberapa hal yang dapat dijadikan acuan dan tentu acuan ini demi kepentingan si anak (bukan kepentingan orangtuanya) :
- Pengasuhan anak oleh si Ibu. Ini juga karena kedekatan anak dengan salah satu pihak. Secara nyata memang dominan pada salah satu pihak, khususnya anak di bawah 12 tahun oleh ibu. Ini mengacu pada aturan yang diatur didalam Kompilasi Hukum Islam. Tetapi kenyataannya alasan ini tidak hanya di pakai di Pengadilan Agama tetapi juga di Pengadilan Negeri.
- Salah satu pihak dipandang lebih bertanggung jawab. Ini kenapa tidak hanya ibu yang mendapat hak asuh anak tetapi juga bisa saja ayahnya. Contoh kasus yang terjadi pada tahun 2014, artis M (ibu) yang menggugat B (ayah) dan hak asuh anak jatuh pada B oleh karena artis M diduga memiliki ganggung jiwa bipolar. Atau masih banyak contoh lainnya.
- Kemampuan finansial. Ini bisa juga menjadi salah satu alasan yang biasanya dipertimbangkan oleh hakim. Misalnya istri adalah seorang ibu rumah tangga, sehingga si suami meyakinkan hakim bahwa si ibu tidak dapat mengurus dengan baik si anak. Tetapi kembali lagi pada Pasal 41 huruf b UU Perkawinan bahwa yang memenuhi kebutuhan si anak adalah ayahnya. Sehingga sebenarnya meski sudah bercerai dan hak asuh anak jatuh pada si ibu, maka biaya hidup si anak tetap menjadi tanggung jawab ayahnya.
- Pilihan anak. Tidak jarang oleh majelis hakim di minta untuk hadir dalam persidangan cerai dan oleh majelis hakim ditanyakan secara langsung mereka ingin hidup bersama bapaknya atau ibunya. Sehingga majelis hakim memutuskan sesuai pilihan si anak. Tetapi perlu diketahui juga bahwa anak hanya dimintai keterangan dengan mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan usia anak sesuai amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
- Alasan teknis pemeliharaan lain. Misalnya diasuh oleh kedua belah pihak. Satu minggu di rumah ibu, satu minggu di rumah ayah. Atau tinggal bersama ibu dan ayah boleh menjenguknya sewaktu-waktu.
Itu adalah beberapa acuan yang menjadi pertimbangan hakim dalam menentukan siapa pihak yang lebih berhak mendapatkan hak asuh anak.
Apabila Anda membutuhkan konsultasi hukum, Anda dapat mengubungi kami melalui email: lassa@lassaadvocate.com