Berdasarkan Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 24/1997”), Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. Sehingga bukti kepemilikan hak atas tanah adalah sertifikat tanah.
Satu-satunya bentuk jaminan untuk menjaminkan hak atas tanah adalah dengan hak tanggungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah (“UUHT”), dimana dapat ditemukan di dalam Alinea Ketiga Angka 5 Penjelasan Umum UUHT, yang berbunyi “Hak Tanggungan merupakan satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah, dan dengan demikian menjadi tuntaslah unifikasi Hukum Tanah Nasional, yang merupakan salah satu tujuan utama Undang-Undang Pokok Agraria” dimana dikenal dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan. Sehingga, TANPA AKTA PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN, tidak ada kemudahan eksekusi objek jaminan untuk pelunasan utang tersebut bagi kreditur.
Melakukan balik nama atas tanah dan/atau bangunan, dapat dilakukan dengan cara jual beli, hibah, tukar menukar atau inbreng (pemasukan ke dalam suatu perusahaan). Berdasarkan Pasal 6 jo. Pasal 20 ayat (1) huruf (a) UUHT, diatur apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut lebih dahulu daripada kreditur-kreditur yang lain.
Sehingga, apabila seseorang mempunyai Akta Pemberian Hak Tanggungan maka mereka dapat melakukan jual beli dan atas Sertipikat tersebut dapat dilakukan balik nama.