Pengadilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia yang jenis perkaranya berdasarkan agama islam yang limitatif dalam artian disesuaikan dengan keadaan di Indonesia. Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang berfungsi dan berperan menegakkan keadilan dan kepastian hukum mengenai perkara perdata Islam tertentu. Di dalam ketentuan Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (untuk selanjutnya disingkat “UU Peradilan Agama”), kewenangan Pengadilan Agama adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
- Perkawinan;
- Waris;
- Wasiat;
- Hibah;
- Wakaf;
- Zakat;
- Infaq;
- Shadawah; dan
- Ekonomi Syari’ah.
Di dalam penjelasan Pasal 49 huruf (b) UU Peradilan Agama jo. Pasal 171 angka 1 Kompilasi Hukum Islam (untuk selanjutnya disingkat “KHI”), yang dimaksud dengan “waris” adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2017, diatur bahwa Surat gugatan dalam perkara kewarisan dan permohonan pembagian harta waris menurut hukum Islam harus menempatkan semua ahli waris yang berhak sebagai pihak. Jika tidak, Ketua Pengadilan atau hakim yang ditunjuk sebelum penetapan majelis hakim, dapat memberi petunjuk untuk memperbaikinya. Apabila tidak diperbaiki, maka perkara tersebut dinyatakan tidak dapat diterima”. Meski dalam Surat Edaran tersebut menggunakan diksi “permohonan pembagian harta waris”, namun jika pilihan kata tersebut dibaca melalui perspektif buku II, maksud kata tersebut adalah “perkara Permohonan Penetapan Ahli Waris”. Sehingga pembagian waris dapat diajukan ke Pengadilan Agama apabila Pemohon beragama Islam.