Anak Sah dan Anak Luar Kawin

Anak Sah dan Anak Luar Kawin

Pasal 1 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disingkat KHI) menyatakan bahwa :

Anak yang sah adalah:

  1. Anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah;
  2. Hasil perbuatan suami istri diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.

Menurut Pasal 42 dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

Perkawinan yang dimaksud dalam Pasal 1 KHI, adalah sesuai dengan Pasal 1 UU Perkawinan, Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Syarat sahnya Perkawinan ditekankan pada 2 hal yaitu  perkawinan yang dilaksanakan menurut masing-masing agama dan perkawinan tersebut harus tercatat pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (DISPENDUKCAPIL). Syarat sah perkawinan bagi orang Islam diatur dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 29 KHI.

Sedangkan mengenai Anak Luar Kawin diatur dalam Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Pasal 272 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata) menjelaskan bahwa :

Anak luar kawin, kecuali yang dilahirkan dari perzinaan atau penodaan darah, disahkan oleh perkawinan yang menyusul dari bapak dan ibu mereka, bila sebelum melakukan perkawinan mereka telah melakukan pengakuan secara sah terhadap anak itu, atau bila pengakuan itu terjadi dalam akta perkawinannya sendiri.

Hal ini berarti bahwa anak luar kawin bisa dikategorikan sebagai anak sah sepanjang diakui oleh orang tuanya.

Pasal 250 KUH Perdata juga mengatur bahwa :

Sahnya anak yang dilahirkan sebelum hari ke seratus delapan puluh dari perkawinan, dapa diingkari oleh suami. Namun pengingkaran itu tidak boleh dilakukan dalam hal-hal berikut :

  1. Bila sebelum perkawinan suami telah mengetahui kehamilan itu;
  2. Bila pada pembuatan akta kelahiran dia hadir, dan akta ini ditandatangani olehnya atau memuat suatu keterangan darinya yang berisi bahwa dia tidak dapat menandatanganinya;
  3. Bila anak itu dilahirkan mati.

Pada tahun 2010, Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 mengatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945 dengan syarat sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa anak luar kawin tersebut tidak hanya memiliki hubungan dengan ibu serta keluarga ibu akan tetapi juga berhak untuk memiliki hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya selama dapat dibuktikan secara ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau alat bukti lain secara sah menurut hukum bahwa benar laki-laki tersebut adalah ayah dari anak luar kawin tersebut.

Demikian perbedaan pengertian dan pemahaman mengenai anak sah dan anak luar kawin.

Pasal 1 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disingkat KHI) menyatakan bahwa :

Anak yang sah adalah:

  1. Anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah;
  2. Hasil perbuatan suami istri diluar Rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.

Menurut Pasal 42 dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah

Perkawinan yang dimaksud dalam Pasal 1 KHI, adalah sesuai dengan Pasal 1 UU Perkawinan, Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pira dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Syarat sahnya Perkawinan ditekankan pada 2 hal yaitu  perkawinan yang dilaksanakan menurut masing-masing agama dan perkawinan tersebut harus tercatat pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (DISPENDUKCAPIL). Syarat sah perkawinan bagi orang Islam diatur dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 29 KHI.

Sedangkan mengenai Anak Luar Kawin diatur dalam Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Pasal 272 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata) menjelaskan bahwa:

Anak luar kawin, kecuali yang dilahirkan dari perzinaan atau penodaan darah, disahkan oleh perkawinan yang menyusul dari bapak dan ibu mereka, bila sebelum melakukan perkawinan mereka telah melakukan pengakuan secara sah terhadap anak itu, atau bila pengakuan itu terjadi dalam akta perkawinannya sendiri.

Hal ini berarti bahwa anak luar kawin bisa dikategorikan sebagai anak sah sepanjang diakui oleh orang tuanya.

Pasal 250 KUH Perdata juga mengatur bahwa:

Sahnya anak yang dilahirkan sebelum hari ke seratus delapan puluh dari perkawinan, dapa diingkari oleh suami. Namun pengingkaran itu tidak boleh dilakukan dalam hal-hal berikut:

  1. Bila sebelum perkawinan suami telah mengetahui kehamilan itu;
  2. Bila pada pembuatan akta kelahiran dia hadir, dan akta ini ditandatangani olehnya atau memuat suatu keterangan darinya yang berisi bahwa dia tidak dapat menandatanganinya;
  3. Bila anak itu dilahirkan mati.

Pada tahun 2010, Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 mengatakan bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945 dengan syarat sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hokum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa anak luar kawin tersebut tidak hanya memiliki hubungan dengan ibu serta keluarga ibu akan tetapi juga berhak untuk memiliki hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya selama dapat dibuktikan secara ilmu pengetahuan dan teknologi dan atau alat bukti lain secara sah menurut hokum bahwa benar laki-laki tersebut adalah ayah dari anak luar kawin tersebut.

Demikian perbedaan pengertian dan pemahaman mengenai anak sah dan anak luar kawin. Apabila Anda membutuhkan konsultasi hukum, Anda dapat mengubungi kami melalui email: lassa@lassaadvocate.com

Spread the love

Leave a Reply

Close Menu