Presiden telah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2020 (KepPres 12/2020) tentang “Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional”. Lalu apakah kemudian Keppres ini oleh Perusahaan dapat dijadikan acuan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Karyawan (PHK)?
alasan-alasan yang dipakai untuk dilaksanakannya PHK diantaranya pengunduran diri atas kemauan sendiri oleh pekerja yang bersangkutan, pengunduran secara tertulis, pengunduran diri karena mencapai usia pensiun, pekerja melakukan kesalahan berat, perusahaan mengalami kerugian, pekerja mangkir terus menerus, dan pekerja telah meninggal dunia.
Selain hal tersebut diatas, Perusahaan tidak dapat melakukan PHK terhadap karyawannya secara serta merta dengan alasan tertentu. Ada aturan atau ketentuan tersendiri terhadap suatu perusahaan untuk melakukan PHK. Pasal 164 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) mengatur bahwa PHK dapat dilakukan apabila memenuhi unsur berikut:
- Perusahaan dapat melakukan PHK dengan alasan mengalami kerugian atau keadaan memaksa (Force Majeur).
Perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun. Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik. Menurut Pasal 164 UU Ketenagakerjaan Perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena atau keadaan memaksa (force majeur). Definisi force majeur tidak diatur secara rinci dalam KUHPerdata di Indonesia. Pasal 1245 KUHPerdata Pasal ini menyebutkan:
Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus digantinya, apabila karena keadaan memaksa (overmacht) atau karena suatu keadaan yang tidak disengaja, si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.
Dalam hal ini pekerja berhak masing-masing satu kali atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja sebesar satu kali dan uang penggantian hak sesuai pasal 156 ayat 4 UU Ketenagakerjaan.
2. Perusahaan dapat melakukan PHK terhadap Pekerja atau Buruh dengan alasan efisiensi.
Perusahaan dapat melakukan PHK terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup dengan alasan bahwa perusahaan melakukan efisiensi. Berkaitan dengan PHK dengan alasan efisiensi, Mahkamah Konstitusi (“MK”) memberikan penafsiran dalam Putusan MK No.19/PUU-IX/2011 yang menguji konstitusionalitas Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan.
MK Menyatakan bahwa Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang frasa “perusahaan tutup” tidak dimaknai sebagai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”, pada frasa “perusahaan tutup” tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu”. Dari Putusan MK tersebut dapat diambil kesimpulan, PHK dengan alasan efisiensi itu konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu.
Jadi alasan Perusahaan dapat melakukan PHK karena alasan efisiensi harus dengan syarat perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu.
Dalam hal ini Pekerja berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
PERUSAHAAN WAJIB MEMPERHATIKAN HAL INI.
1. Status Pekerja/Buruh dan Kompensasi yang diberikan
Status pekerja baik itu Pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) maupun Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) adalah hal pertama yang harus diperhatikan Perusahaan.
Apabila Perusahaan melakukan PHK terhadap pekerja yang berstatus PKWT sebelum masa kerja berakhir maka Perusahaan wajib membayar ganti rugi kepada pihak pekerja sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Apabila perusahaan melakukan PHK kepada Pekerja yang berstatus PKWTT maka Perusahaan wajib membayar kompensasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 UU Ketenagakerjaan.
2. Buat Perjanjian Bersama dan Melakukan Pencatatan ke Pengadilan Hubungan Industrial
Perusahaan harus melakukan segala upaya agar menghindari dari yang namanya PHK. Apabila dalam upaya pendekatan untuk melakukan PHK tidak menghasilkan kesepakatan dengan pekerja, Perusahaan hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (Pasal 151 UU Ketenagakerjaan).
Jika tidak memperoleh penetapan (PHK) dari Pengadilan Hubungan Industrial maka PHK batal demi hukum (Pasal 155 ayat 1 UU Ketenagakerjaan).
Berdasarkan penjelasan diatas, apakah wabah virus corona dapat dijadikan dasar Force Majeur untuk melakukan PHK?
Force Majeur tidak diatur secara rinci didalam UU Ketenagakerjaan sedangkan KUH
Perdata tidak memberikan suatu bentuk perlindungan hukum
kepada pekerja dan terkait kejadian memaksa atau Force Majeure. Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 1 ayat tiga yang menjelaskan bahwa
Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
Dan dengan dikeluarkannya KEPPRES No. 12 Tahun 2020 mengenai Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional maka, Perusahaan boleh melakukan PHK terhadap pekerjanya dengan dasar adanya wabah Covid-19.
Namun Perusahaan harus siap dengan konsekuensi pembayaran atau kompensasi maksimal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni pekerja/buruh berhak atas “uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).” Penjelasan Pasal 156 ayat (3) meliputi: a. cuti tahunan yang belum di ambil dan belum gugur; b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja; c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat; d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Pasal 156 ayat (4) meliputi: Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana di maksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.”
PHK ini dapat dilakukan dengan melakukan mediasi terlebih dahulu (bersama Disnaker), dan berujung ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Apabila Anda membutuhkan konsultasi hukum, Anda dapat mengubungi kami melalui email: lassa@lassaadvocate.com